Jenuh

Hai… Sudah lama ya tidak menulis di blog ini. Maaf… postingan pertama setelah hibernasi lama ini rasanya bukan suatu cerita yang menyenangkan.

Aku jenuh…

Entah karena kuliah itu menjenuhkan, atau karena belum pernah balik ke Jakarta, atau karena hati tidak bersama raga ini di kota Malang ini, atau gabungan dari ketiganya. Yang pasti aku jenuh…

Kuliah hanya 1-3 mata kuliah sehari, ditambah dengan beberapa kegiatan kepanitiaan, praktikum, ataupun diskusi. Tidak seperti SMA yang dari pukul 06.30 hingga pukul 15.30. Belum lagi ditambah bimbingan belajar hingga jam 8 malam. Intinya pembelajaran di kuliah itu tidak selama saat SMA, namun –sekali lagi− entah mengapa aku merasa jenuh.  Sangat jenuh.

Mungkin karena metode belajar? Mungkin saja. Aku merasa sangat pasif. Mendengar. Kalau ada yang tidak jelas, maka bertanya. Ditambah beberapa tugas, ujian dan praktikum. Just it. Sedikit merindukan dihujani dengan soal-soal dengan langkah-langkah, rumus, dan pembahasannya itu.

Hari ini tepat 149 hari sejak pertama kali tinggal di Malang dan tanpa pulang ke Jakarta sedikitpun. Jenuh… Belum ada waktu yang memungkinkan. Waktu Idul Adha ada waktu libur, namun hanya sebentar ditambah lagi ada ospek yang menghadang di tengah-tengah hari libur tersebut. Orang tua pun baru mengunjungiku sebanyak 2 kali. Hmmm…

Mungkin juga karena sebagian besar kehidupanku ada di Jakarta. Merantaulah… Engkau akan tahu kenapa kamu harus pulang dan engkaupun kan tahu siapa yang akan kamu rindu.

Aku tak menyangka aku akan merindukan mereka seperti ini. Dulu, aku hanya menganggap kata-kata “I Love Family” sebagai kata-kata yang…klise, basi, ah apaan sih, lebay. Aku juga berpikir aku bakal baik-baik saja kalau aku jauh dari keluarga, makanya di saat teman-teman yang lain memilih untuk kuliah di Jakarta bagaimanapun caranya (milih jurusan/universitas yang masuknya lebih mudah, atau memilih swasta, dsb), aku tetap percaya diri memilih universitas yang lokasinya jauh jika seandainya gagal masuk di universitas yang menjadi cinta pertamaku, UI.

Keluargaku jauh dari kata baik. Banyak luka di masa lalu yang tergores di sana-sini. Dari semuanya, akulah yang saat ini menjadi sumber keributan di rumah. Tidak heran, kenapa orangtuaku lebih bahagia aku keterima di UB daripada saat aku memberitahu mereka kalau aku juga lolos SIMAK UI.

I hated my father for being irresponsible, doesn’t care, come and go as he pleases. I hate step father and my mother even though they who raised me. I hate them when I considered the same as my father. I feel like…outcast…

Entah sejak kapan tepatnya aku berubah menjadi seperti ini. Rapuh. Mudah sekali menangis apabila disinggung tentang keluarga. Tidak tahu. Yang jelas, aku sedikit jijik dengan diriku yang menjadi semelankolis ini. Aku benci diriku yang lemah.

“Kita adalah sepasang sepatu. Selalu bersama, tak bisa bersatu~” – Sepatu by Tulus

Mirisnya lagi, sudah tidak bisa bersatu, tidak lagi bersama juga. Dia juga salah satu alasan yang membuat aku semakin rindu untuk pulang. Dibaikin, dijahatin atau bahkan didiamkan itu sama-sama tidak bisa membuatnya keluar dari pikiran

Leave a comment