Welcome To Malang – Tes Poltekkes, SBMPTN, SIMAK dan Hasilnya (bagian 2)

8 Juli 2013 : Pengumuman SBMPTN

Sebelum aku kasih tahu hasilnya, aku mau bercerita tentang detik-detik menanti pengumuman ini. Aku jadi seperti orang galau. Sebentar berpikir seperti ini, nanti berpikir kayak gitu. Aku menunggu pengumuman dengan cemas. Apa ya hasilnya? Aku lolos atau malah gagal? Kira-kira aku keterima dimana ya? Kalau aku gak keterima, aku harus gimana? Maklumlah… Seperti yang aku ceritakan di bagian pertama, aku sama sekali tidak percaya diri dalam mengerjakan deretan soal itu. Di saat aku mulai merasa kalau aku sudah banyak berkembang, di saat aku merasa nilai TO-ku sudah dalam tingkat yang aman, di saat aku merasa impianku tinggal sejengkal dari tanganku, semuanya tiba-tiba menghilang, kabur, dan lenyap.

Di saat aku putus asa aku merenung kembali, mengingat segala hal yang telah terlewati. Kemudian aku berpikir seperti ini. Aku dan pendidikanku… Aku dan institusi dimana aku menuntut ilmu… Dalam hal ini, tampaknya aku berjodoh dengan ‘cinta pertama’-ku. Waktu SD, aku bersekolah di SDK Slamet Riyadi I dimana setiap hari aku melewati SMPN 103. Ibuku berkata kalau SMPN 103 adalah sekolah favorit di situ. Aku pun mengatakan pada diriku sendiri, aku ingin masuk sana. Saat aku kelas 6, aku mengenal sekolah favorit lainnya seperti SMPN 49, 98, 99. Meski begitu, pada akhirnya aku diterima di ‘cinta pertama’-ku itu, SMPN 103 Jakarta. Begitu pula saat aku diterima di SMAN 39 Jakarta. Akupun berharap hal ini terulang lagi. Aku berharap aku diterima di perguruan tinggi impian awalku, Universitas Indonesia.

Dan inilah hasil pengumuman SBMPTN:

SBMPTN

Puji Tuhan!!!! Aku lulus! Prodi pilihanku. Pas baca itu aku langsung heboh… Untung aku lulus, untung juga aku keterimanya bukan di pilihan ketiga yang kupilih dengan setengah hati, pilihan aman gitu kalau nilaiku jatuh banget. Ibuku bahagia banget. Kalau ayah mah sudah tenang-tenang aja karena beliau dari awal sudah yakin aku masuk perguruan tinggi pilihannya itu. Aku pun sangat senang karena aku diterima di sana.

Kalau ditanya aku sedih tidak karena tidak diterima di pilihan pertamaku, jawabanku tidak. Entah kenapa tidak ada perasaan ‘patah hati’ yang gimana banget gitu. Aku bangga kok masuk Universitas Brawijaya. Mungkin kata-kataku mengundang pernyataan “Ah masa? Yakin? Kamu sedang menipu perasaanmu sendiri ya?” Oh tidak. Tuhan tahu benar perasaanku saat itu 🙂

Kemudian aku melihat jadwal daftar ulang. WOW! Daftar ulangnya tanggal 15-19 Juli 2013. Aku langsung siap-siap untuk ke Malang. Kemudian ibuku berkata kalau nanti setelah aku daftar ulang, aku langsung ngekost di sana. WHAT???!!! Kaget sih langsung harus berpisah dengan segala sesuatu yang ada di Jakarta. Tapi kalau mendengar alasan dari ibu ya cukup rasional. Aku bisa punya cukup banyak waktu untuk beradaptasi dengan lingkungan di Malang, mengenal jalan dan budaya di sana, dari segi biaya pun juga lebih hemat daripada aku harus bolak-balik Jakarta-Malang. Kemudian terlintas di benakku. Bagaimana dengan hasil SIMAK-nya? Saat aku menanyakan hal ini ke orangtuaku, tekanan darah mereka langsung naik. Menunggu yang tidak pastilah, tidak bersyukur dapat UB-lah, dsb. Mereka maunya aku fokus dengan apa yang sudah aku terima saat ini. Yaudahlah mau bagaimana lagi, daripada nanti orangtua tambah mengamuk terus jadi jatuh sakit kan bahaya. Aku menyadari kalau aku bukanlah anak yang cukup berbakti pada orangtua. Karena itu, kali ini aku ingin menuruti apa yang menurut mereka baik. Toh mereka lebih dewasa dan sudah merasakan lebih banyak pahit getirnya dunia dibandingkan aku. Universitas Brawijaya sama sekali tidak jelek, termasuk ke dalam 10 besar PTN terbaik di Indonesia. Tidak ada alasan untuk tidak mensyukuri ini. Kenapa tidak berangkat kesana tanggal 17/18 sehingga kalau tanggal 19 keterima lewat jalur SIMAK kamu bisa kembali ke Jakarta? Pertanyaan ini sudah berkali-kali aku dengar dari teman-temanku. Rumit kalau harus berurusan dengan yang namanya kemauan orangtua. Lagipula udah keluar biaya yang tidak sedikit untuk perjalanan ke sana. Kalau kata ibuku, “untuk apa kamu mengorbankan banyak hal untuk gengsi memperebutkan status sebagai mahasiwa jaket kuning. Itu pun kalau kamu benar-benar keterima SIMAK. Kalau enggak? Mau kamu kacaukan semua yang udah dipersiapkan?”. 

Aku berangkat dengan bahagia dan bangga. Beberapa temanku yang kutemui sebelum aku berangkat bisa melihat itu. Tidak ada yang bisa aku ungkapkan selain rasa… senang.

Berangkat tanggal 15 Juli 2013 pukul 11.00 WIB. Tiba pukul 12.00 WIB. Agak lama memang karena di perjalanan, ayah sempat tidur 6 jam gitu. Bagus deh, daripada ngantuk dalam mengendara. Oke lupakan. Sampai di sana langsung ke UB, tidak langsung daftar ulang hanya lihat-lihat kondisi di sana. Setelah itu cari tempat kost. Mungkin cerita tentang tempat kost ini akan kuceritakan nanti. Ini sangat menyenangkan untuk dibahas. Singkatnya aku tinggal di sana.

17 Juli 2013 : Daftar Ulang + Fitting Jaket Almamater + Foto + Tes Kesehatan

Aduh ini ceritanya panjang banget. Pertama, tes kesehatan. Aku datang ke gedung fakultas kedokteran UB. Di sana aku mengisi daftar hadir. Setelah itu antri bergiliran naik mini bus/mini van ke RSP UB. Dari situ aku baru tau kalau gedung di samping perumahan tempat kost-ku itu ternyata rumah sakit. Wajar, soalnya rumah sakit itu masih dalam tahap pembangunan *mendadak jadi inget gedung FKUI yang di Depok* Ada berbagai macam tes kesehatan yang aku lakukan di sana. Salah satunya pengukuran tekanan darah. Sebelumnya kan aku sudah makan yang banyak. Belajar dari pengalaman tes kesehatan poltekkes yang saat itu aku dalam keadaan stress dan tidak nafsu makan. Dan ternyata tekanan darahku adalah……. 90/60. Oh damn! Rendah banget. Yang kemarin aja 110/63. Ibu dokternya langsung pasang muka prihatin di depanku. “Kamu puasa? Kamu udah makan belum? Ini rendah banget sayang. Kamu jarang olahraga ya?” Huh!!! Hu-fe-te hu-fe-te banget niatnya mau ngomong : Hufffttt.

Di sana kan ada tes darah. Darahku diambil lewat suntikan yang ditancapkan di… aduh apa itu namanya…. di pergelangan yang menghubungkan lengan atas sama lengan bawah. Abis itu kan ditutup pakai kapas beralkohol kemudian direkatkan dengan semacam selotip gitu. Sakit banget pas digerakin. Entah kenapa aku terlihat sangat kesakitan daripada anak-anak lainnya. Apalagi setelah tes kesehatan, aku kembali ke gedung fakultas kesehatan untuk fitting baju. Gila banget rasanya perih ketarik-tarik. Mana nyoba bajunya banyak banget. Jaket angkatan, jas almamater, jas lapangan, kaos, jas lab, jas lab khusus mahasiswa ilmu gizi. Ada enam tuh. Belum lagi kalau ukurannya ternyata tidak pas, akhirnya mencoba ukuran lain. Aku menahan rasa sakit keseret-seret itu berjam-jam. Pas selese tuh semua termasuk daftar ulangnya, aku kembali ke mobil dan menceritakan semuanya ke orangtuaku. Kata ayahku, plesternya dilepas aja. Setelah dilepas, sama sekali tidak terasa sakit. Jadi ini semua salah si plester ya, bukan karena bekas tusukannya. Hu-fe-te lagi.

Balik lagi ke topik awal. Abis fitting itu foto. Kayaknya buat kartu mahasiswa deh. Setelah itu, aku ke gedung Samantha Krida (semacam Balairung gitu). Di sana aku nyerahin berkas-berkas yang diminta. Lucu aja pas gue ke meja yang ngurusin berkas-berkas menyangkut pengeluaran (kayak tagihan listrik, PBB, PKB, dsb). Yah gitu deh aku ditanya-tanya dan aku menjawab dengan senyum sambil ketawa ala aku sehari-hari. Nah si ibunya tiba-tiba memasang muka sedih dan prihatin gitu mendengar ceritaku. Yah emang sih konten yang aku sampaikan ini cukup menyedihkan meski penyampaianku seperti ini. Oke deh skip. Aku ketemu Rifqi. Dia daftar ulang di hari yang sama denganku ternyata. Aku ketemu banyak teman sefakultas terus kenalan. Ada yang menarik banget. Cowok, putih, ganteng, pakai kacamata, anak Medan. Dari awal itu entah kenapa ketemu mulu. Dari berangkat sampai mau pulang. Duduk di samping gue, dua kali. Bukan hanya sefakultas, ternyata dia juga sama-sama ambil ilmu gizi. Gila! Cowok ambil ilmu gizi. Bukannya mustahil sih tapi termasuk langkalah. Tapi tampangnya yang ganteng itu sama sekali gak sejalan sama nama dan suaranya .__. Cieeee…. Suka pada pandangan pertama nih ya? Enggak kok, enggak. Aku tidak suka dia. Tidak mau lagi aku terlibat dengan yang namanya cinta-cintaan. Ini aku hanya bersimpati sama anak satu jurusan sama aku.

19 Juli 2013 : Pengumuman SIMAK UI

Pagi itu aku mengecek hasil ujian SIMAK UI lewat laptop ibu kost-ku. Awalnya aku sempat salah pilih jalur. Aku masukkan nomer ujian SIMAK-ku dan memilih jalur SBMPTN. Ya pastilah keluar kata “Maaf“. Yaudah, sama sekali tidak merasa sedih atau gimana. Toh aku sudah fix dengan kehidupanku di kota Malang ini. Saat aku mau menutup jendela browser, aku menyadari aku salah memilih jalur. Aku pun mengubah jalurnya menjadi SIMAK. Tanganku langsung gemetaran dan air mataku jatuh saat aku melihat kata “Selamat” di sana.

SIMAK

Puji Tuhan banget. Pertama kalinya aku menangis liat pengumuman masuk PTN. Tidak tahu ini air mata bahagia atau apa. Segalanya campur aduk. Terus bagaimana? Pilih UB atau UI jadinya? Aku pilih U……B… Beban banget bagi aku untuk melepas PTN sebesar UI, PTN impianku dari awal. Tapi seperti yang aku bilang sebelumnya, masalah restu orangtua. Betapa bahagianya mereka karena keinginan mereka agar aku kuliah di luar kota dapat terwujud. Mereka mungkin berbeda dengan orangtua lain yang inginnya anaknya kuliah di Jakarta. Mereka ingin aku belajar mandiri, mengatur dan mengatasi masalah kehidupanku sendiri seperti mereka saat muda dulu yang belajar dewasa dari keadaan yang jauh dari keluarga. Aku sangat memahami ini. Apalagi biaya yang dikeluarkan untuk mempersiapkan aku kuliah di UB ini juga tidak kecil. Contohnya saja uang bayaran kost. Seperti yang aku bilang sebelumnya, aku ke Malang tidak sekedar daftar ulang terus balik ke Jakarta lagi. Aku langsung ngekost di sana. Di kostanku diwajibkan bayar 3 bulan pertama dahulu, baru setelah itu bayar per bulan. Belum lagi biaya untuk kami bertiga (ayah, ibu, dan aku) berangkat ke Malang dan biaya lain-lain. Ada kali keluar 2,5-3,5jutaan. Kalau aku balik ke Jakarta kan sia-sialah segala sesuatu itu. Aku tahu.

Beberapa alasan utama yang membuatku berat banget ngelepas UI adalah:

1. Itu universitas impianku sejak dulu.

2. Itu universitas yang bergengsi abis. Nama besar UI gitu lho, komunitas yellow jacket. Termasuk 3 besar PTN terbaik di Indonesia. Puluhan bahkan ratusan ribu orang mati-matian untuk masuk situ.

3. Mayoritas temanku berada di UI, termasuk sahabat-sahabatku.

4. Kalau masuk UI, aku tidak harus keluar dari Jakarta dan segala baik-buruknya yang telah menemani selama 18 tahun aku hidup di dunia ini. Termasuk orang tuaku.

Tenang saja, aku sudah tidak galau-galau lagi gara-gara masalah yellow jacket ini kok. Cukup hanya sehari. Oke cukup hanya seminggu menangis meraung-raung di pojokan kamar. Toh aku juga sudah terlanjur jatuh cinta dengan suasana kota Malang ini. Kondusif banggggggeeeeeetttt buat tinggal dan belajar. Adem bangeeeetttt!!!!!!! Cocok banget buat aku yang benci banget sama panas. Semoga jalan yang aku ambil ini adalah jalan yang terbaik menurut rencana Tuhan.

Aku ambil hikmahnya saja. Ingat postinganku yang lalu tentang cerita di balik pengumuman SNMPTN? Ya tampaknya kata-kataku benar. Tuhan tidak meloloskan aku di jalur SNMPTN dan jalur seleksi raport Poltekkes 2 Jakarta agar aku tidak berhenti belajar, memintaku untuk mencoba mengerjakan jajaran soal-soal yang sulit itu (terutama Matdas dan MatIPA yang abstrak itu), dan lebih tekun lagi berdoa. Tuhan ingin mengajarku untuk lebih dewasa bahwa segala sesuatunya tidak didapat dengan mudah. Dan Tuhan tidak lekas ‘mencuekkan’ aku. Saat aku mulai berusaha belajar, Dia ikut campur tangan. Segala ujian yang aku ikuti (SBMPTN, ujian tulis Poltekkes, SIMAK UI) semuanya Tuhan ijinkan agar aku bisa lolos. Aku bukan anak yang pintar dengan IQ yang tinggi, tapi sampai detik ini Tuhan tidak berhenti memampukanku.

Leave a comment